Islam dan Pluralisme

Islam dan Pluralisme




A.    PENDAHULUAN
Dalam pandangan kebanyakan sarjana barat dan pengagumnya, memperbincangkan tinjauan Islam terhadap fenomena pluralisme agama merupakan upaya yang sia-sia belaka, bahkan dapat menimbulkan sikap mencibir dan menghina. Perbincangan semacam ini, dalam benak mereka tak lebih sekedar upaya upaya yang ujung-ujungnya sebuah apologi belaka. Sebetulnya pandangan miring dan sinis terhadap islam dan segala sesuatu yang berbau islam sering kita temukan berulang dari masa ke masa. Kita kemudian semakin yakin, bahwa sikap ini sudah jadi bagian integral dan organik dari cara-cara untuk merusak citra islam sekaligus menanamkan kebencian dan antipati. Kebencian dan antipati itu sengaja dibangun tidak hanya dalam benak para non-Muslim saja, tapi juga dalam hati sebagian Muslim yang lemah Iman. Di saat yang sama cara-cara itu juga bermaksud mempertahankan konsep-konsep dan ideologi-ideologi (baca: agama) yang tengah mereka jajakan dan globalisasikan secara paksa. Bukankah hal ini merupakan bentuk lain dari apologi?
Sebelum mulai membahas Pluralisme Agama menurut Pandangan Alam Islami. Penting kiranya dibahas beberapa hal terkait pluralisme Agama, baik dari definisinya, sejarah perkembangannya, sebab kemunculannya, dan beberapa tren nya secara singkat.

1.      Definisi Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “Agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “At-Ta’addudiyyah Al-Diniyyah” dan dalam bahasa inggris “religius pluralisme”. Oleh Karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut.
Pluralisme berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa inggris mempunyai tiga pengertian. 1) Pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. 2) Pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. 3) Pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Dari ketiga pengertian tersebut, Dr. Anis Malik Thoha menyederhanakannya dengan suatu makna, yaitu Koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Definisi Agama dalam wacana pemikiran barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupin di bidang ilmu perbandingan agama sendiri. Sehingga sangat sulit untuk bisa menentukan  definisi agama yang dapat diterima dan disepakati oleh setiap kalangan. Dan saking sulitnya, sampai-sampai seorang Pakar Perbandingan Agama, Wilfred Cantwell Smith, mengatakan bahwa istilah Agama ini harus dibuang dan ditinggalkan untuk selamanya. Tapi tentunya pendapat Smith ini terlalu berlebihan, karena sebagian besar sarjana Ahli Agama tidak berpendapat demikian, dan penggunaan Terminologi Agama masih digunakan oleh orang Awam dan Para Ahli. Berangkat dari kenyataan ini, merupakan suatu keniscayaan untuk memilih suatu definisi Agama yang memadai sebagai pijakan ilmiah dan metodologis yang mutlak diperlukan untuk melakukan sebuah pengkajian dan analisis.
Untuk mendefinisikan agama, setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi “Fungsi”, “Institusi”, dan “Substansi”. Para Ahli sejarah sosial, cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis—suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis, misalnya secara alami sangat mudah membedakan antara agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahann yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual, dan etika yang ada dalam ajaran keduanya.
Sementara para Ahli di bidang sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya—yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Pendapat ini didukung oleh Durkheim, Robert N. Bellah, Thomas Luckmann, dan Clifford Geertz. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansi yang sangat asasi –yaitu sesuatu yang sakral (the sacred). Pendapat ini adalah yang diyakini oleh Rudolf Otto dan Mircea Eliade.
Dari uraian di atas, definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti Komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme, dan lainnya. Jika “pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman tersebut di atas bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
Namun dari segi konteks di mana “pluralisme Agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. John Hick, misalnya, menegaskan bahwa:
“...pluraslism is the view that the great world faith embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence fro self-centredness to reality centredness is manifestly taking place—and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent.”
(...pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan- Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut--dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama)
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manisfestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Sangat jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak redaksionistik.




2.      Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama
Pemikiran Pluralisme agama muncul di barat pada masa yang disebut masa pencerahan Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi. Akan tetapi ternyata gagasan Pluralisme Agama sebenarnya bukan hanya hasil dominasi pemikir barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India. Dikarenakan dampak pergesekan dan dialog serta konflik-konflik yang terjadi antara kepercayaan Hindu dan Agama-agama pendatang yang lain yang masuk ke india memunculkan gagasan-gagasan yang mengarah kepada Pluralisme Agama. Diantara cikal bakalnya adalah munculnya agama baru hasil perpaduan antara Hindu dan Islam yang didirikan oleh  Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) yang bernama Ajaran “Sikhisme”. Kemudian  Gerakan Brahma Samaj, yang dicetuskan oleh Rammohan Ray (1772-1833). Semula dia adalah pemeluk agama Hindu, dia telah mempelajari konsep keimanan terhadap tuhan dari sumber-sumber islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama. Begitu pula Sri Ramakrishna (1834-1886) dan Muridnya Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902). Kemudian mengikutinya tokoh-tokoh india yang lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishnan (1888-1975) yang juga menyuarakan pemikiran pluralisme Agama yang sama.
            Akan tetapi, Ada perbedaan mendasar antara pemikiran pluralisme Agama yang dicetuskan oleh teolog-teolog india dengan apa yang dicetuskan oleh Barat, khususnya Eropa. Gagasan Pluralisme agama India lebih mempunyai akar teologisnya, karena kerangka dasarnya tetap bersumber dari ajaran Kitab Suci Hindu, seperti saling dimilikinya kebenaran oleh jalan-jalan yang mengantarkan kepada tuhan. Gagasan Pluralisme agama india lebih merupakan perspektif baru yang muncul dalam wacana teologis, sementara di Barat gagasan ini lebih merupakan produk filsafat Atheisme modern yang muncul pada masa pencerahan Eropa.
            Sementara itu, dalam diskursus pemikiran islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan Pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi realitas bahwa gagasan Pluralisme Agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca-Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda muslim untuk mengenyam pendidikan di Universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.

3.      Sebab-Sebab Timbulnya Teori Pluralisme Agama
Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam sekaligus kompleks. Namun secara Umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor  dengan faktor lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Faktor Internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak (absolute truth claims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan”. Faktor ini sering juga dinamakan dengan faktor ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu sosio-politis dan faktor ilmiah.
a. Faktor Ideologis (Internal)
Keyakinan seseorang yang serba mutlak  dan absolut bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu paling benar dan paling superior, adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal aqidah, madzhab, dan ideologi. Dikarenakan hal di atas maka tidak akan mungkin agama-agama bisa dikompromikan.
Misalnya dalam masalah teologis, mereka berbeda dalam memahami zat yang gaib yang bersifat metafisikal yang sering dikenal dengan nama “Tuhan”.
-     Ada yang mengakui eksistensi tuhan (theistic religion),
-     Adapula yang tidak mengakui adanya tuhan (non-theistic religion),
-     Adapula golongan yang mengatakan tuhan itu ada atau tidak, mereka ada dalam kebimbangan dan keragu-raguan.
Mereka pun berbeda dalam mengakui esensi dan bilangan tuhan itu sendiri. ada yang mengakui banyak tuhan seperti dalam Agama Hindu yang memiliki ribuan Dewa, dan adapula yang beriman kepada satu Tuhan, seperti Agama Yudaisme, Kristen, dan Islam, walaupun kenyataannya terdapat perbedaan fundamental antara satu dengan yang lainnya dalam mendefinisikan esensi atau hakikat Tuhan. Berikut perbedaannya:
-     Aqidah Yudaisme yang tidak mengakui tuhan tuhan kecuali tuhan “Yahweh” yang menurut keimanan Yahudi adalah tuhan khusus untuk golongan mereka saja secara ekslusif. Adapun bangsa selain yahudi bebas mengimani tuhan-tuhan mana saja selain Yahweh. (Tribal dan Rasis)
-     Agama Kristen mengimani satu tuhan saja, namun memiliki tiga unsur, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan Ruh Al-Kudus. (Trinitarian)
-     Agama Islam tidak mengakui akidah Tawhid yahudi yang tribal dan rasis maupun tauhid Kristen yang Trinitarian, melainkan hadir dengan akidah Tawhid yang murni, yang terekspresikan secara kategoris dalam kalimat syahadat “Tiada tuhan selain Allah” (Laa Ilaaha Illalloh).
b. Faktor Eksternal
a.    Faktor Sosio-Politis
Dikarenakan ketakutan Barat adanya kekuatan-kekuatan lain yang akan menyainginya, mereka memaksakan faham Pluralisme Agama sebagai instrumen atau mekanisme kekuatan-kekuatan politik globalnya.
b.    Faktor Keilmuan: Gerakan kajian-kajian “Ilmiah” Modern terhadap Agama-agama
Diantara yang menyebabkan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi “ilmiah” modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal denga studi Perbandingan Agama.
4.      Tren-Tren Pluralisme Agama
Fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta sosial nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, manusia menyaksikan dirinya secara global hidup berdampingan (koeksistensi) dengan berbagai penganut agama yang berbeda dalam satu negara, dalam satu wilayah dan satu kota dan bahkan dalam satu gang yang sama. Fenomena demikian bagi masyarakat yang belum terbiasa dan belum memiliki pengalaman dalam berkoeksistensi damai, seperti barat, tentu akan menimbulkan problematika tersendiri, sehingga memaksa para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memformulasikan suatu solusi maupun pendekatan dalam merespon problematika tersebut.Dari sinilah kemudian muncul sejumlah teori pluralisme agama yang mungkin bisa diklasifikasikan.
Dr. Anis Malik Thoha mengklasifikasikan Pluralisme berdasarkan pokok-pokok pemikiran dan karakter utamanya ke dalam empat kategori, yaitu:
a.      Humanisme Sekular (Secular Humanism),
Humanisme ini dibangun atas dua konsep utama untuk mewujudkan koeksistensi damai antar negara: 1) Sentralitas manusia sebagai subjek dan obyek; dan 2) Sekularisasi/sekularisme. Refresentatif tren ini kebanyakan dari kalangan tokoh politik seperti Benjamin Franklin, dan juga para teolog seperti Harvey Cox.
b.      Teologi Global (Global Theology)
Tren ini mengacu kepada 1) teori rekonsepsi agama yang diusung Wilfred Cantwell Smith; dan 2) hipotesis transformasi pemusatan-diri menuju pemusatan –yang Maha Nyata (The Real) yang dipropagandakan oleh John Hick.
c.       Sinkretisme (Syncretism, atau eclecticism)
Tren ini diwakili oleh gerakan “Masyarakat ketuhanan” (Brahma samaj); dan “masyarakat Teosofi” (theophical society) yang didirikan pada tahun 1875 di New York, Amerika serikat. Tren ini juga terekspresikan secara fasih dalam pemikiran-pemikiran Ramakrishna dan muridnya, Swami Vivekananda. Begitu juga, kecenderungan ini sangat kental dalam gagasan-gagasan Mahatma Gandhi. Tren ini didirikan atas dua pondasi utamanya, yaitu: 1) gagasan bahwa kebenaran terbagi dalam berbagai agama, dan 2) gagasan bahwa agama-agama adalah saling melengkapi.  Termasuk ke dalam tren ini adalah pemikiran Kabir dan Nanak yang telah memformulasi agama baru, Sikhisme, yang dicampur dari adonan Hindu, Budha, dan Islam.
d.      Hikmah abadi (Sophia Perennis atau Perrenial philosophy)
Sebetulnya tren ini dari segi kepopulerannya di kalangan kaum mistik kuno, adalah tren kuno, tapi karena ditampilkan dalam wadah baru lengkap dengan filsafat modern dan relevan dengan topik kajian ini. Tren ini diantaranya diusung oleh Frithjof Schuon dan Seyyed Hossein Nasr. Gagasan ini pada intinya bertumpu pada keyakinan mereka yang membedakan antara “hakikat transenden” (transcendent reality) yang hanya satu saja dan tidak mungkin diketahui, dan “hakikat keagamaan” (religious reality) yang tidak lain merupakan  beberapa manifestasi eksternal yang beragam dari hakikat yang satu dan transenden tersebut.
Keempat tren ini jika diteliti dengan seksama, ujung-ujungnya berakhir pada muara yang sama. Yaitu memberikan legitimasi yang setara kepada semua agama (semua aliran dan ideologi) yang ada, agar dapat hidup berdampingan bersama secara damai, aman, penuh, penuh tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai. Serta dengan tanpa adanya perasaan superioritas dari salah satu agama di atas yang lain. Setidaknya inilah nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh tren-tren tersebut, dan inilah yang kini dikenal secara luas dengan istilah Pluralisme Agama. 
B.     PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PLURALISME AGAMA DAN TREN-TRENNYA.
Istilah Pluralisme Agama yang dalam Bahasa Arabnya “At-Ta’addudiyyah ad-Diniyyah” sebenarnya tidak pernah dikenal dalam sejarah islam, kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu. Ketika itu Barat mulai menjajakan ideologi  modernnya yang dianggap universal, seperti Demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas, dan mengekspornya untuk konsumsi luar dalam rangka mencapai berbagai kepentingannya yang sangat beragam, serta berbagai peremehan dan penghinaan terhadap Islam dengan berbagai macam tuduhan yang menyakitkan, seperti intoleran, anti-demokrasi, fundamentalis, sektarian, dan sebagainya.
Maka sebagai respons terhadap perkembangan politis baru ini, masalah “pluralisme” mulai mencuat dan menjadi concern kalangan cerdik-cendekia islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas paling laku di pasar pemikiran Arab Islam Kontemporer. Sehingga semaraklah karya, tulisan, dan kajian yang mengupas topik ini dengan volume yang terus naik dalam periode ini.
Penyebab tidak adanya pembahasan tentang Pluralitas keagamaan dalam kajian Ulama Islam dikarenakan permasalahan ini lebih dipandang sebagai masalah koeksistensi, dan interaksi sosial praktis anak-anak manusia yang berafiliasi kepada agama, tradisi, dan kultur yang berbeda; yakni masalah yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu dan kelompok-kelompok yang hidup di dalam sebuah tatanan masyarakat yang satu, baik yang menyangkut hak maupun kewajiban, untuk menjamin ketentraman dan perdamaian umum. Jadi, permasalahannya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis, administratif dan historis, daripada masalah keimanan atau teologis, dimana wahyu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan semuanya kepada kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau keyakinan sesuai dengan yang mereka yakini, sebagaimana difirmankan Allah swt.,
 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ. . . . [البقرة: 256]
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. . . .”
     Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level menifestasi eksternal yang superfisial--dan oleh karena itu tidak genuine. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis--oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.
A.    Perspektif Islam Terhadap Pluralitas
1)   Konsep TAWHIDI
·  (Tawhid dan hakikat Ketuhanan)
Meskipun manusia berbeda-beda, ada bangsa arab ada bangsa ajam, kulit hitam dan kulit putih, ada yang tinggi badannya ada yang pendek, tapi mereka adalah satu dalam menghamba kepada Allah Swt.
·  (Tawhid dan hakikat Wahyu)
Meskipun nabi-nabi yang diutus pada suatu kaum itu berbeda-beda, tetapi wahyu yang disampaikan oleh mereka tetaplah satu yaitu aqidah Islam “Laa Ilaaha illalloh”.
·  (Tawhid dan hakikat Manusia)
Sekalipun banyak manusia dengan menganut agama yang berbeda-beda sebenarnya mereka semua memiliki potensi agama yang satu yaitu agama islam. Karena setiap manusia itu dilahirkan dalan keadaan fitrah (beragama Islam).
·  (Tawhid dan hakikat masyarakat)
Sekalipun di dalam sistem masyarakat ada berbagai agama selain Islam, mereka tetap satu sebagai penduduk negara Islam selama mereka mematuhi aturan (seperti membayar jizyah) dan tidak mengganggu stabilitas umum.
2)   Pluralitas adalah sunnatullah
Keesaaan yang hakiki dan murni hanyalah ada pada Allah swt saja. Adapun selain-Nya, mulai dari makhluk yang paling kecil hingga yang terbesar, yang berupa benda padat, cair, gas, manusia, hewan, vegetasi, dan lain-lain, semuanya wujud di atas prinsip keragaman, berpasang-pasangan, terkomposisi dan berbilang. 
Pluralitas adalah merupakan “hukum” ilahi dan “sunnah” ilahiyah yang abadi di semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah. Pluralitas adalah “sunnah” dan “ayat” Allah dalam vegetasi dan buah-buahan, dalam hewan dan binatang, dan dalam semua jenis makhluk, bahkan dalam manusia, macamnya, afiliasinya, dan tingkat prestasinya dalam melaksanakan kewajibannya, dan lebih dari itu, bahkan sampai pada level syari’at, way of life, dan peradaban, semua bersifat plural.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan fakta-fakta di atas secara jelas menerangkan, pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Yaitu suatu hakikat perbedaan dan keragaman yang timbul semata karena memang adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah swt. dalam setiap ciptaan-Nya. Sedangkan dalam pluralitas yang menyangkut agama, yaitu yang sedang kita bicarakan, Muhammad Salim Al-‘Awwa mendefinisikannya dengan pengakuan akan eksistensi agama-agama yang berbeda dan beragam dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya, dan menerima ke”lain”-an yang lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan berkeyakinan.
Konsep dan pemahaman pluralitas seperti ini adalah yang didukung oleh naql (teks wahyu), akal dan kenyataan. Teks-teks wahyu yang dicantumkan di atas, khususnya Hud: 118-119 dan al-Ma-idah: 48, menegaskan bahwa perbedaan dan keragaman bangsa-bangsa, syari’at, dan falsafah hidup memang dikehendaki oleh Allah swt. Bahkan sampai beberapa ulama tafsir menyatakan bahwa “perbedaan” dan “keragaman” ini adalah sebagai “alasan penciptaan”. Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha’, misalnya, menafsirkan ayat “wa lidzalika khalaqahum” (hud: 119): dengan “wa li al-ikhtilafi khalaqahum” (karena perbedaan Allah menciptakan mereka). Ini yang pertama. Lalu, kedua, ayat-ayat Al-Qur’an yang mengabarkan bahwa Allah swt. telah mengutus serangkaian nabi dan rasul kepada manusia sepanjang zaman, bahkan dalam beberapa kasus kepada salah satu kaum (Bani Israel), dengan membawa aqidah yang benar dan agama yang suci (hanif). Jika memang tidak ada perbedaan hakiki antara agama-agama, tentu saja pengutusan itu tidak ada artinya atau sia-sia, dan ini adalah hal yang mustahil bagi Allah. Ketiga, ayat-ayat Al-Qur’an yang di dalamnya Allah swt. memerintahkan Rasulullah saw. untuk  mengajak ahli kitab (kaum Yahudi dan Nashrani) dan para pnyembah berhala semua agar masuk islam. Begitu juga terdapat dalam sunnah, bahwa rasulullah saw. telah mengutus beberapa utusan dengan membawa surat beliau kepada para raja dan pemimpin di sekitar jazirah Arabia, yang isinya adalah mengajak mereka kepada Islam. Semua itu menunjukkan adanya perbedaan yang substansial antara Islam dan agama-agama lain.
B.     Perspektif Islam tentang tren-tren Pluralisme Agama
1)      Islam dan Tren Humanisme Sekuler
Berkenaan dengan tren humanisme sekuler, yang penting untuk dikritisi dari sudut pandang Islam adalah konsep “Humanisme” yang dijadikan dasar bangunannya. Yaitu sebuah konsep yang menjadikan manusia, dan nilai-nilai kemanusiaan murni atau sekularisme, sebagai satu-satunya tolak-ukur atau standar segala sesuatu, dan bahkan mensakralkannya sampai tingkat menuhankannya. Tentu saja konsep yang akhirnya berujung pada “relativisme” absolut dan pada pengingkaran segala sesuatu yang berbau metafisik atau ghaybi ini bertentangan secara diametral dengan islam. Hal ini sama sekali tidak berarti Islam tidak menghargai nilai-nilai humanisme, melainkan sebaliknya. Tapi Humanisme yang dibawa islam dan dipropagandakannya serta dipertahankannya bukanlah humanisme sekular, melaikan apa yang bisa disebut “Tawhidic humanism” (Humanisme Tauhidi).
     Dalam perspektif tawhidi, humanisme tidak mungkin dapat mengantarkan manusia mencapai kebebasan dan persamaan yang hakiki kecuali ketika mampu mengenali batas-batas yang ada pada dirinya, untuk kemudian berhenti pada batas-batas tersebut dab tunduk kepada kekuatan yang lebih besar dan lebih tinggi. Jika tidak, maka iakan selalu diperbudak oleh keinginan atau kepentingan sesaatnya dan terkungkung dalam dirinya yang sempit, serta tidak tahu jalan keluar darinya, dan pada gilirannya tidak akan dapat mencapai kecuali kepentingannya yang sesaat dan terbatas.Bagaimana mungkin dapat diharapkan terwujud kemaslahatan umum yang menyeluruh dan adil kepada seluruh manusia dari suatu sistem atau ideologi yang diciptakan oleh manusia sendiri, yang notabene selalu kontroversial dalam keputusan-keputusannya, dan sarat dengan ego, self interest, dan kecenderungan untuk tiran? Dalam kondisi yang demikian ini, sistem hanyalah objek permainan yang didominasi orang-orang kuat yang cenderung sewenang-wenang terhadap hak dan kepentingan golongan tak berdaya/ Hal ini, tentu saja, sama sekali tidakmenguntungkan manusia. Memang sangat mustahil nilai-nilai humanisme yang mulia dapat terwujud di bawah sistem seperti ini.
     Oleh karena itu, humanisme tidak patut untuk menjadi kriteria atau tolak ukur bagi segala sesuatu, bahkan sebaliknya ia sendiri justru sangat memerlukan standar atau kriteria yang tetap, adil dan tidak memihak dan netral. Kriteia standar yang adil ini hanya mungkin ada dari Allah saja. Sebab dia adalah pencipta segala sesuatu, dan maha mengetahui rahasia segala ciptaan-Nya. sejak awal sampai akhir, Dia tidak memiliki kepentingan pemihakan pada segolongan manusia tertentu.
2)      Islam dan Tren Teologi Global
Tren Teologi Global merupakan upaya sangat serius,sistematis, dan sophisticated (licik) untuk menghapus agama-agama secara perlahan-perlahan, atau paling kurang, untuk mendangkalkanya (banalisasi) dan menjinakkannya. Oleh karena itu, tren ini sangat berbahaya. Apalagi ia sengaja disuguhkan dalam kemasan yang tampaknya “religius, teologis, ilmiah, dan obyektif”, dan sangat kontekstual, yakni seirama dengan globalisasi yang sedang melanda dunia, dan dengan gaya yang tampaknya meyakinkan. Salah seorang tokoh tren ini adalah Wilfred C. Smith, dalam salah satu artikelnya: “No Statement about a  religion is valid unless it can be acknowledged by that religion’s believers.” (Pernyataan tentang suatu agama tidaklah valid keculi benar-benar diakui oleh pemeluk agama tersebut). lebih lanjut ia sesumbar bahwa, “Anything that I say about Islam as a living faith is valid only as far as muslims can say “’amen’ to it” (Apa saja yang saya katakan tentang islam sebagai agama hidup hanya dapat dikatakan valid jika orang-orang Muslim dapat meng-amin-inya)
Namun, ternyata ketika kita rujuk tesis-tesisnya kita segera dikejutkan dengan fakta-fakta yang secara diametral bertentangan dengan prinsip yang tampak sangat meyakinkan tersebut. Diantaranya adalah tesis Smith  tentang perlunya “meninjau ulang istilah agama (religion)”. Ia menerangkan bahwa istilah agama sangat problematik. Oleh karena itu mutlak harus dibuang dari kamus bahasa, termasuk semua nama-nama agama yang ada, kecuali Islam yang merupakan satu-satunya nama yang built-in dalam kitab sucinya, Al-Qur’an. Namun pengecualian ini, menurutnya, tidaklah begitu esensial, melainkan sangat artifisial, sebab “Islam” digunakan dalam Al-Qur’an sebagai “a verbal noun: the name of an action, not of an institution; of a personal decesion, not a social system.” Dan oleh karenanya, harus ditinggalkan juga. Sasaran utama tesis ini sangat jelas, yaitu agar semua manusia melepaskan agama, dan agar semua agama melepaskan fungsi sosialnya untuk digantikan dengan agama sekuler dan global.
“Islam” bukan hanya sekadar “kata benda”, melainkan ia “definisi” dan “nama” sebuah agama; bukan hanya nama sebuah institusi sosial dan nama seperangkat aqidah, syari’ah dan akhlaq yang dipeluk umat Islam, secara individual maupun kolektif, sebagaimana terlihat secara jelas dan meyakinkan dari dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah yang sangat banyak jumlahnya dan tak mungkin dirinci di sini. Namun, di sini hanya ingin menyuguhkan tiga ayat Al-Qur’an yang menyebutkan “Islam” dan “agama” (din) secara bersamaan, yang sebetulnya adalah ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Smith untuk menyokong kesimpulannya (yang sudah dibuat sebelumnya!) menurut interpretasi subyektifnya sendiri yang ia coba carikan legimitasi dari tafsir Al-Thabari secara salah.
 Keadaan yang sama, atau mendekatinya, juga dapat kita saksikan dalam hipotesis Hick tentang pluralisme Agama. Hick membangun hipotesisnya ini atas dasar konsepnya tentang tuhan yang Ambigu dan sangat Absurd yang tahbiskan sebagai sentra keselamatan manusia yang sebenarnya.  Dari sini ia mengajak semua manusia untuk mentransformasi dan mengubah keyakinan bahwa Tuhan-lah satu-satunya pusat atau sentra yang sebenarnya.
Hick mengakui bahwa Allah adalah tuhannya bagi Umat islam, akan tetapi disamping itu ia pun mengakui tuhan-tuhan agama lain: Yahweh, Adonei, Trinitas, trimurti, Brahma, Gautama, dan sebagainya. Dan ia mengumpulkan semua tuhan-tuhan bersama Allah di bawah satu tuhan yang ia beri nama The Real atau Al-Haq, yang berada di titik sentral atau pusat yang mengungguli tuhan-tuhan yang lain.
Hick berusaha menjustifikasi hipotesis kesetaraan agama ini dengan ucapan salah seorang tokoh sufi, maulana Jalaludin Rumi, bahwa “Lampu itu berbeda-beda, tapi cahaya satu”.  Menurutnya, ucapan ini menguatkan relatifnya lensa-lensa tersebut.
Hipotesis ini mengandung inkonsistensi logika yang sangat parah, sebab jika realitas Tuhan yang diyakini umat islam, dan tuhan-tuhan yang diyakini para pengikut agama lain adalah sama relatifnya, maka keputusan atau proposisi ini parameternya apa? Jika parameternya adalah akal, maka akal siapa? Dan tidak boleh jika parameternya adalah akalnya John Hick sendiri, karena ia sendiri, pada gilirannya, juga amat sangat mustahil bisa lepas dari bias “lensa subjektifnya”. Namun jika Hick bersikeras bahwa hanya pandangannya sendiri yang benar secara absolut dan yang lain salah atau relatif, maka runtuhlah teori reletivisme ini dari akar-akarnya, dan runtuh pula bersamanya hipotesis pluralisme Hick.
3)      Islam dan Tren Sinkrenistik
Tren sinkretisme merupakan Tren Pluralisme yang cukup tua. Untuk menjamin eksistensinya, tren ini meniscayakan adanya ruh kesetaraan dan relativisme absolut. Dengan demkian, tren ini memiliki kesamaan dengan tren-tren pluralisme yang lain. Bedanya tendensi rasionalitasnya sangat kental dan dominan, maka dalam tren ini tendensi emosionalnya sangat dominan.
     Pertama yang bisa dicatat dari tren sinkrenistik ini, dimana para tokohnya berkesimpulan niscayanya mencampuradukan unsur-unsur terbaik dari setiap agama, melalui cara ini, yakni menghembuskan ruh kesetaraan dan relativisme absolut, sebagaimana terlihat jelas dari pengalaman spiritual atau mistisnya Ramakhrisna Paramahamsa secara khusus.
Hal kedua yang bisa dicatat tentang sinkretisme, dari perspektif Islam, ialah masalah mencampur unsur-unsur religius yang berbeda-beda. Apakah agama-agama rea atau, paling kurang, toleran dengan kondisi semacam ini? Boleh jadi cara beragama seperti ini absah dan dapat diterima dalam tradisi hindu. Akan tetapi Islam tidak mengakui dan membenarkan cara seperti itu sama sekali. Sikap yang tegas ini didasarkan pada aqidah tawhid yang murni yang merupakan saripati Islam yang mana segala sesuatu yang berhubungan dengan eksistensi dan hakikat agama ini(aqidah, syari’at dan akhlaq) adalah bersumber darinya.
Di sisi lain, sesungguhnya dalam tren sinkrenistik, dan konsep relativisme mutlak secara umum, terdapat pengingkaran terhadap risalah samawi yang diyakini keniscayaannya oleh “agama-agama samawi”. Ketika manusia boleh membuat sendiri yang baru atau memilih akidah, syariat dan akhlaq semaunya, maka risalah tidak ada gunanya lagi.
Ditambah lagi, tren pemikiran ini dalam dirinya mengandung inconsistency. Sebab tren ini biasanya, kalau tidak malah selalu, gampang berubah dari gerakan yang toleran dan terbuka menjadi sebaliknya, intoleran, tertutup dan ekslusif. Gerakan Teosofis, misalnya, yang mengklaim bahwasanya ia memihak pada semua agama dan mempertahankannya, ternyata pada saat yang sama juga mengklaim superioritasnya di atas agama-agama lain.     
4)      Islam dan Tren Hikmah Abadi
Para pengusung Hikmah Abadi, mereka cenderung memilah-milah antara kebenaran esoterik yang Absolutly Absolute dan kebenaran eksoterik yang relatively absolute.
Gagasan ini memiliki self-inconsistensy. Alih-alih ingin membabat relativisme, reduksionisme, dan sekulerisme, ternyata ia sendiri terperosok ke dalamnya. Karena seperti kita saksikan, untuk berlaku adil kepada semua agama, kaum yang mengaku tradisionalis ini mau tidak mau harus membuat pemilahan antara kebenaran esoterik yang absolutly absolute dan kebenaran eksoterik  yang relatively absolute. Maka dengan demikian, gagasan “tradisionalis” ini sejatinya tak ada bedanya dengan gagasan-gagasan pluralis pada umumnya kecuali hanya dalam kadar. Yakni jika kadar relativitasme agama dalam gagasan pluralis secara umum cenderung negatif, maka dalam gagasan “tradisional” ini cenderung agak positif. Dan hal ini jelas tidak dapat melepaskan gagasan ini dari aib relativisme yang justru ingin dihindarinya. Dan yang membuatnya rentan dan tidak mampu mewujudkan cita-citanya, adalah pandangannya terhadap agama yang cenderung “reduksionistik”, dimana ia tidak mengakui juridiksi agama kecuali dalam wilayah kehidupan manusia yang sangat pribadi dan sempit, dan membiarkan dimensi-dimensi kehidupannya yang lain untuk diatur oleh sistem-sistem non-agama (sekuler). Dengan demikian gagasan ini tanpa disadari telah terjebak dlam sekularisasi dan bahkan mempunyai saham secara aktif proses sekulerisasi.

C.    PENUTUP
            Gagasan Pluralisme Agama yang menginginkan kesetaraan agama, sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, namun kajian yang lebih mendalam, objektif dan kritis terhadap gagasan tersebut, telah menunjukkan hakikat yang justru sebaliknya, dan semakin menyingkap topeng yang menyembunyikan wajah aslinya yang ternyata bengis, tak ramah, dan intoleran. Di samping kontradiksi yang jelas dengan arti epistimologis pluralisme agama, gagasan ini sebenarnya banyak mengandung problem yang sangat krusial. Sebagian diantaranya adalah problem epistimologis, dan sebagian lainnya adalah problem metodologis, dan lainnya lagi adalah problem teologis, sehingga jika diimplementasikan di alam nyata apa adanya jelas justru akan menimbulkan problem-problem yang berlawanan secara diametral dengan tujuan-tujuam yang semula ingin dicapai. Sehingga yang terjadi adalah intoleran dan bukan toleran, pemaksaan dan bukan kebebasan, kezaliman dan bukan keadilan, dan sebagainya. Oleh karena itu, gagasan ini lebih merupakan problem itu sendiri daripada solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar