KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE-2 SAMPAI ABAD KE-5

KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE-2 SAMPAI ABAD KE-5




A. PENDAHULUAN
Kodifikasi atau tadwin secara bahasa adalah mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang tercecer kepada satu diwan/kitab. Dan tadwin secara istilah adalah aktifitas  mengklasifikasikan dan penyusunan [1]
Pengkodifikasian hadis-hadis Rasulullah saw secara resmi baru dimulai  100 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.[2] Sehingga seorang orientalis bernama Joseph Schacht mengatakan, “sangat sulit sekali menganggap bahwa hadis-hadis yang ada kaitannya dengan fiqih itu ada yang shahih. Sebab hadis-hadis itu dibikin untuk diedarkan di kalangan masyarakat sejak paruh pertama dari abad kedua sampai seterusnya”.[3] Tidaklah perlu heran dengan pernyataan mereka yang meragukan hafalan para sahabat, karena pada ajaran mereka tidak ada budaya menghafal suatu teks. Berbeda dengan kaum muslimin yang selalu menghafal firman Allah dan Rasul-Nya disertai  keyakinan terhadap kebenarannya dan aktivitas menghafal firman Allah dan Rasulnya merupakan ibadah yang diperintahkan dalam ajaran mereka. Sedangkan mereka kaum Yahudi dan Kristen tidak punya yang harus mereka hafal, kitab suci yang mereka punya pun diragukan keotentikannya sehingga menimbulkan perdebatan panjang dalam menentukan apakah kitab suci mereka benar-benar berasal dari Nabi mereka atau tidak. Sehingga mereka tidak merasa penting untuk menghafal kitab mereka. Dan mereka melihat kitab mereka banyak terjadi perubahan seiring dengan waktu. Sehingga mereka pun tidak akan langsung percaya bila Al-Qur’an dan Al-Hadis disebut asli dari Nabi.
Pada awal perkembangan islam, pengkodifikasian hadis tidak terlalu penting karena pada waktu itu banyak sekali orang-orang yang mengetahui hadis Nabi. Seiring dengan perjalanan waktu, orang-orang yang hafal terhadap Al-Hadis semakin berkurang disebabkan mereka gugur di peperangan. Maka dengan segera umat Islam mengantisipasiya dengan melakukan kodifikasi hadis.
Akan tetapi kodifikasi Hadis tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada usaha sebelumnya. Para sahabat telah menyusun pondasi-pondasi kodifikasi dengan menghafal sabda Rasulullah SAW dengan hafalannya mereka yang terkenal kuat. Di samping itu terdapat sebagian sahabat yang mencatat hadis-hadis ke dalam catatan mereka[4].
Kemudian usaha yang dilakukan pada masa sahabat ini terus dikembangkan oleh generasi Tabi'in dan generasi selanjutnya  menggunakan sistem sanad[5].  Sehingga kodifikasi yang dilakukan secara resmi pada paruh pertama dari abad kedua dan seterusnya dapat dipertanggung jawabkan dan diuji keotentikannya.  
B. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 2
1)   KODIFIKASI PERTAMA PADA AWAL ABAD KE 2
Pengkodifikasian hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah secara luas, dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (l. 63H- w. 101H). Ia menjadi khalifah selama 2,5 tahun (99-101H). Ia adalah keturunan Umar bin al-Khattab melalui ibunya. Laila Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Al-Khattab. Pada saat itu beliau mendorong semua ulama di berbagai negeri untuk mencatat hadis Rasulullah saw. yang mereka hafal.[6]
Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat kepada Qadi dan Gubernur Madinah Abu bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (w. 117 W), yang isinya:
“Perhatikanlah hadis Rasulullah saw, lalu tulislah. Karena sesungguhnya aku khawatir kepada pengkajian ilmu dan wafatnya para ulama. Dan janganlah kamu menerima kecuali hadis nabi saw. dan sebarluaskanlah ilmu, dan duduklah sehingga mengetahui orang yang tidak tahu. Karena sesungguhnya ilmu tidak akan musnah sehingga keadaannya menjadi sesuatu yang rahasia.[7]
Kemudian Umar bin Abdul Aziz menugaskan tugas mulia ini kepada Muhammad bin Muslim bin Syihab (l. 50 H - w. 124 H) yang terkenal dengan Imam Az Zuhri. Imam Az-Zuhri mulai mengumpukan hadis, sehingga beliau menjadi orang yang pertama kali mengumpulkan hadis ke dalam sebuah kitab. kemudian beliau mengirimkan kitab-kitab hadisnya itu ke berbagai belahan daerah islam.[8] Az-Zuhri pernah berkata: “Umar bin Abdul Aziz telah menyuruh kami untuk menghimpun sunah-sunah nabi, maka kami mencatatnya buku demi buku, lalu setiap buku dikirim ke daerah-daerah”[9]
Umar bin Abdul Aziz tidak merasa cukup menugaskan Imam Az-Zuhri dan Ibn Hazm saja. Ia pun mengirimkan surat ke seluruh penjuru negeri, menandaskan permintaan beliau sekaligus memberikan motivasi kepada segenap Ahli Ilmu untuk memperdalam dan menghidupkan sunnah.[10]
Ajaaj al-Khatib berkata bahwa pengkodifikasian hadis yang pertama adalah yang dilakukan oleh Abdul Aziz bin Marwan (w. 85 H) Ayahanda Umar bin Abdul Aziz (w 101H). Pada tahun 75 Hijriyah ketika beliau menjadi seorang Amir di mesir. Beliau memerintahkan kepada Murrah Al-Khadrami (w 70-80H), seorang tabi’in yang sezaman dengan 70 orang sahabat di daerah Himsha, agar dia menulis untuknya hadis-hadis yang ia dengar dari sahabat Nabi kecuali Abu Hurairah karena telah dimilikinya.[11] Namun pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama.[12]
Perkembangan Kodifikasi pada Abad ini.
A.    Penyusunan yang dilakukan oleh ulama pada awal abad kedua ini, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, kitab-kitab yang berisi hadis nabi semata. Kedua, kitab-kitab yang berisi hadis Nabi yang bercampur dengan keputusan resmi para khalifah, sahabat lainnya serta para tabi’in.
B.     Kitab-kitab pada abad ini belum disusun secara sistematis.[13]

2)   KODIFIKASI PADA PERTENGAHAN AWAL ABAD KE 2
Pada Abad ke II hijriah. Daulah islamiyyah semakin luas dan para ulama semakin banyak, serta usaha pencatatan hadis pun semakin meluas di masyarakat Islam waktu itu. Pengkodifikasian hadis pada waktu itu ada pada tangan tabi’in kecil[14] dan tabiut tabi’in.[15]
Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
A.    Pentadwinan hadis pada abad  ini tidaklah begitu berbeda dengan abad sebelumnya. Kitab-kitab hadis terbagi dua, ada yang sengaja mengumpulkan hadis-hadis Nabi saja dan ada pula yang mencampurkan hadis Nabi dengan perkataan sahabat, dan fatwa tabi’in. Bedanya, sekarang bertujuan untuk istinbatul ahkam. Sedangkan sebelumnya dikarenakan kekhawatiran hilangnya sunnah. [16]
B.     Pada masa ini belum ada pemisahan antara hadis Shahih, Hasan, Dloif, dan maudlu’.[17]
C.     Pada masa ini hadis telah disusun secara mubawwab (berdasarkan bab). Hadis-hadis yang berkaitan dikumpulkan dalam satu bab, kemudian bab-bab dikumpulkan kepada suatu kitab (satu kitab terdiri dari beberapa bab).[18] Cara ini merupakan penyempurnaan metode pengkodifikasian periode sebelumnya yang pernah dilakukan oleh ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi (l. 19 H – w 103 H)[19]
Karya-karya kodifikasi pada abad ini
Beberapa Ulama yang pertama kali pernah melakukan kodifikasi secara mubawwab di berbagai kota sebagai berikut:
A.    Abu Muhammad Abd al-Malik bin Abd al-Aziz bin Juraij         di Makkah (w. 150 H)
B.     Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Mathlabi                               di Madinah (w. 151 H)
C.     Ma’mar bin Rasyid al-Bashry Tsumma Al-Shan’aniy                 di Yaman (w. 153 H)
D.    Sa’id bin Abi Arubah                                                                   di Bashrah (w. 156 H)
E.     Abu ‘Amr Abd ar-Rahman bin ‘Amr al-Auza’iy                         di Syam (w. 156 H)
F.      Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Dzi’bin                           di Madinah (w. 158 H)
G.    Ar-Rabi’ bin Shubaih al-Bashri                                                    di Bashrah (w. 160 H)
H.    Syu’bah bin Al-Hajjaj                                                                  di Bashrah (w. 160 H)
I.       Abu Abdullah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri                                  di Kufah (w. 161 H)
J.       Al-Laits bin Sa’d al-Fahmi                                                          di Mesir (w. 175 H)
K.    Abu Salamah Hammad bin salamah bin dinar                             di Bashrah (w. 175 H)
L.     Al-Imam Malik bin Anas                                                             di Madinah (w. 179 H)
M.   Abdullah bin al-Mubarak                                                             di Khurasan (w. 181 H)
N.    Jarir bin Abd al-Hamid Adh-Dhobi                                             di Rayy (w. 188 H)
O.    Abdullah bin Wahb al-Mishri                                                      di Mesir (w. 197 H)
P.      Sufyan bin ‘Uyainah                                                                    di Makkah (w. 198 H)
Q.    Waqi’ bin Al-Jarrah Ar-Ra-asi                                                     di Kufah (w. 197 H)
R.     Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafe’i                       di Mesir (w. 204 H)
S.      Abd Ar-Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani                              di Shan’a (w. 211H)
Diantara kitab hadis yang sampai generasi sekarang, diantaranya adalah:
1.      Kitab Al-Muwaththo              karya imam Malik bin Anas.
2.      Al-Musnad,                             karya Imam Syafi’i
3.      Al-Jami’,                                 karya Abdul Razaq al-Shan’any
4.      Al-Mushannaf,                        karya Sufyan ibn Uyainah
5.      Al-Mushannaf,                        karya Syu’bah ibn Hajjaj
6.      Al-Maghazi al-Siyar,               karya Muhammad ibn Ishaq
7.      Al-Mushannaf,                        karya al-Laits ibn Sa’ad,
8.      Al-Mushannaf,                        karya al-‘Auza’i,
9.      Al-Mushannaf,                        karya al-Humaidy
10.  Al-Maghazi al-Nabawiyyah,   karya Muhammad bin Waqid
11.  Al-Musnad,                             karya Zaid bin Ali
12.  Al-Musnad,                             karya Abu Hanifah
13.  Al-Mukhtalif al-Hadits,          karya Imam Asy-Syafe’i[20]

C. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 3
Perkembangan ilmu keislaman pada abad ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu hadis. Pada masa itu para ulama rela berpergian jauh untuk mencari hadis, menyusun kitab tentang ilmu Rijal, dan membukukan hadis.[21] Sehingga pada masa ini muncullah karya-karya tentang ilmu-ilmu hadis semisal ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu Tarikh Ruwath, dan lainnya. Juga pada abad ini terjadi perkembangan sistematika penyusunan kitab hadis  sehingga lahirlah kitab-kitab Musnad dan kutub as-Sittah yang menjadi pegangan para ulama hingga saat ini.
Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
A.    Pada masa ini kitab yang berisi hadis Rasulullah telah dipisahkan dari qoul sahabat dan fatwa tabi’in.
B.     Para ulama pada zaman ini telah mampu menentukan derajat hadis kepada shohih dan Dlo’if.[22]
C.     Sistem penyusunan kitab hadis pada masa ini pun makin berkembang, ada yang menyusun kitab hadis  dengan sistem mushonnaf[23]. Dan ada pula yang menyusun dengan sistem Musnad.[24]
D.    Pada masa ini pula muncul pula kitab-kitab ilmu Hadis, diantaranya tentang ilmu Mukhtalif al-Hadis. Misalnya, Kitab Ta-wil Mukhtalif Al-Hadits karya Ibn Qutaibah dan Kitab Ikhtilafu Al-Hadits karya ‘Ali bin Al Madini.[25]

Karya-karya kodifikasi pada abad ini
A.    KITAB SHAHIH DAN SUNAN
a.       Shahih Al-Bukhari                              (194 H-256 H)
b.      Shahih Muslim                                    (204 H-261 H)
c.       Sunan Abu Dawud As-Sijistani          (202 H-275 H)
d.      Jami’/ Sunan At-Tirmidzi                    (209 H-279 H)
e.       Sunan An-Nasa-i                                 (215 H-303 H)
f.       Sunan Ibn Majah                                 (209 H-273 H)
B.  KITAB-KITAB MUSNAD
a.    Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi (w. 204 H)
b.    Musnad Abu Bakr bin Abi Syaibah (w. 235 H)
c.    Musnad Ishaq bin Ibrahim al-Handzoli dikenal dengan Ibn Rahawaih (w. 238 H)
d.   Musnad Al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 H)
e.    Musnad Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauraqi (w. 246 H)
f.     Al-Muntakhab min Musnad Abd bin Hamid Kusyi (w. 249 H)
g.    Musnad Ya’qub bin Syaibah Abu Yusuf As-Sudusi Al-Bashri (w. 262 H)
h.    Musnad Ahmad bin Ibrahim Ath-Thursusi Al-Khuza’i (w. 283 H)
i.      Musnad Ibn Abi Gharizah Ahmad bin Hazim Al-Ghifari Al-Kufi (w. 257 H)
j.      Musnad Al-Harits bin Muhammad bin Abi Usamah At-Tamimi Al-Baghdadi (w. 282 H)
k.    Musnad Ahmad bin ‘Amr bin Abd Al-Khaliq al-Bazzar (w. 292 H)
l.      Musnad Abu Ya’la Ahmad bin ‘Ali bin Al-Mutsanna At-Tamimi Al-Maushili (w. 307 H)
m.  Musnad Abi Sa’id Al-Haitsami bin Kulaib Asy-Syaasyi (w. 335 H)
n.    Musnad Al-Maqollin oleh Da’laj bin Ahmad As-Sijistani (w. 351 H)

D. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 4
Setelah berlalu abad ke 3 yang merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu-ilmu islam, khususnya ilmu-ilmu tentang hadis Nabi. Ulama pada abad ke 4 ini mengikuti usaha pendahulu mereka dalam berkhidmat kepada Sunnah Nabi saw.

Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
1.      Di antara mereka ada menyusun kitab hadis mengikuti metode kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam mentakhrij hadis-hadis shahih.[26] Diantaranya:
A.    Shahih Ibn Khuzaimah          (223 H-311 H)
B.     Shahih Ibn Hibban                 (>270 H-354 H)
C.     Al Mustadrak al-Hakim         (321 H-405 H)
2.      Ada pula beberapa ulama yang menyusun kitab hadis dengan menggunakan metode As-Sunan dalam penyusunannya. Diantaranya:
A.    Muntaqo ibn Jarud                 (w. 307 H)
B.     Sunan Ad-Daruquthni           (306 H-385 H)
C.     Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi (384 H-458 H)
3.      Muncul pula pada masa ini kitab hadis yang sangat bemanfaat sekali dalam menjelaskan antara hadis yang tampaknya bertentangan. Diantaranya:
A.    Syarh Musykil al-Atsar Ath-Thahawi (239 H-321 H)
4.      Pada masa ini pun para ulama ada yang membuat kitab hadis yang mentartib hadis-hadis berdasarkan nama sahabat periwayatnya. Diantaranya:
A.    Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabrani (260 H-360 H)
5.      Beberapa ulama membuat kitab-kitab Mustakhraj. Mustakhraj artinya adalah yang dikeluarkan, maksudnya adalah seorang mengeluarkan (meriwayatkan) hadis dari satu kitab, dan sanadnya dari dia sendiri. Lalu sanadnya bertemu dengan syaikh pengarang kitab itu, selanjutnya bertemu dengan rawi yang lebih atas dari syaikh tersebut.[27]
Diantara kitab Mustakhraj ini adalah:
a.                Mustakhraj Abu Bakar Al-Isma’ili  ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 371 H)
b.                Mustakhraj Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Ghatrifi ‘ala al-Bukhari (w. 377 H)
c.                Mustakhraj Ibn Abi Dzihlin ‘ala al-Bukhari (w. 378 H)
d.               Mustakhraj Ahmad bin Musa bin Mardawaih Al-Ashbahani ‘ala Shahih al-Bukhari
(w. 416 H)
e.                Mustakhraj Ya’qub bin Ishaq Al-Isfirayaini ‘ala shahih Muslim (w. 316 H)
f.                 Mustakhraj Ahmad bin Salamah An-Naisaburi ‘ala Shahih muslim (w. 286 H)
g.                Mustakhraj Ahmad bin Hamdan bin ‘Ali Al-Hairy An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 311 H)
h.                Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Raja’ An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 286 H)
i.                  Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Ath-Thusi ‘ala Shahih Muslim
(w. 344 H)


E. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 5
Pada abad ini para ulama mencoba membuat kumpulan hadis dengan metode jam’i. Yaitu metode penggabungan antara dua kitab atau lebih kitab.[28] Kitab ini dikutip dari beberapa kitab hadis abad sebelumnya. Diantaranya:
a.      Al-Jam’u Baina as-Shahihain (Kumpulan dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim)
a.    Ad-Dimasyqi                                                   (w. 401 H)
b.    Ibn Al-Furat                                                    (w. 414 H)
c.    Al-Barqoni                                                      (w. 425 H)
d.   Imam Abi Abdillah Al-Humaidi Al Andalusi (w. 488 H)
e.    Al-Baghawi                                                     (w. 516 H)
f.     Al-Asybili                                                        (w. 581 H)
g.    Imam Abi Abdillah Al-Anshary                     (w. 582 H)
h.    Abi Hafsh Al-Maushili                                    (w. 622 H)
i.      Ash-Shagani                                                    (w. 650 H)
b.      Al-Jam’u baina Kutub al-Khamsah au As-Sittah (Kumpulan dari kutub al-Khomsah atau al-Sittah)
a.       At-Tajrid li Ash-Shihhah wa As-Sunan As-Sirqisthi             (w. 535 H)
b.      Al-Jaami’ baina al-Kutub As-Sittah Al-Asybili                      (w. 581 H)
c.       Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir                     (544 H-606 H)
d.      Anwaar al-Mishbah fi al-Jam’i baina al-Kutub As-Sittah Ash-Shihhah Al-Gharnathi
(w. 646 H)
Pada Abad ini pun muncul beberapa kitab yang lain, yang semakin memperkaya khazanah keilmuan Islam. Diantaranya:
A.    Syarh As-Sunnah Al Baghawi                             (436 H-516 H)
B.     Mashabih As-Sunnah Al-Baghawi                      (436 H-516 H)
C.     Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir (544 H-606 H)

F. KESIMPULAN
Pengkodifikasian kitab hadis dari Abad kedua sampai abad kelima, merupakan usaha para ulama untuk menyelamatkan sunnah dan Hadis sebagai sumber ajaran islam. Pencatatan hadis yang pada awalnya dipertentangkan, menjadi hal yang mesti untuk dilakukan. Bukankah pelarangan pencatatan hadis oleh Rasulullah saw dilakukan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan hadis untuk memelihara keaslian sunnah dan hadis nabi mesti pula dilakukan. Supaya umat islam di masa depan tidak kehilangan petunjuk yang akan menunjukkan mereka ke jalan yang benar. 


Referensi

Buku-buku
Azami , M. Musthafa. 2006. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus
Al Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari bi Hasiyah Al-Sindi. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Zahraniy, Muhammad bin Mathar, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah Nasya-atuhu wa Tathowwuru. Riyadh: Mamlakah Al-A’rabiyyah Al-Su’udiyyah.
Al-Khatib, Ajaaj, Ushul Al-Hadits ‘Ulumuhuhu wa Mustholahuhu. 2009. Beirut:  Dar Al-Fikr,
Muchtar, Abdul Choliq, Hadis Nabi dalam Teori dan Praktek. 2004. Yogyakarta: TH-Press
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadis. 2002. Jakarta: Bumi Aksara

Majalah
Ibn Muchtar, Aam Abdurrahman, Rizqoh Yamin, Majalah Al-Qudwah, ed. 6, Tadwinul Hadits    (Bagian 3), TT. 2000
Ibn Muchtar, Rizqoh Yamin, Abdurrahman, Abdurrahim, Majalah Al-Qudwah, ed. 7, Tadwinul Hadits    (Bagian 4), TT. 2000
Ibn Muchtar, Rizqoh Yamin, Abdurrahman, Abdurrahim, Majalah Al-Qudwah, ed. 8, Tadwinul   Hadits (Bagian 5), TT. 2000

Program CD
Fathullah, Ahmad Lutfi. Metode Belajar Interaktif Hadis dan Ilmu Hadis.



[1] Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah. hlm. Tadwin diambil dari bahasa Persia (Iran) yang diarabkan.
[2] Prof. Dr. M. Musthafa Azami. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya. cet. 3. 2006. hal. 106.
[3] Ibid. hal. 108
[4] Pada masa itu pencatatan hadis masih dilakukan secara pribadi, dan itupun hanya dilakukan oleh sebagian sahabat. Lantaran pada waktu itu ada perselisihan antara yang membolehkan dan melarang mencatat hadis. Diantara yang mencatat hadis dikalangan sahabat adalah Abdullah bin ‘Amr bin Ash.
[5] Sanad adalah untaian para periwayat hadis yang besambung kepada matan. Matan adalah  ucapan  yang  mana  sanad berhenti padanya. (Mahmud Ath-Thohhan. Taisir Mustholah al- Hadits. hal. 17)
[6] Ibn Muchtar, Aam Abdurrahman, Rizqoh Yamin, Majalah Al-Qudwah, ed. 6, Tadwinul Hadits (Bagian 3), TT. 2000.
[7] Muhammad bin Isma’il, Shahih Al-Bukhari. Kitab ilmu. bab kaifa yuqbad al-ilma. No. 100.
[8] Ajaaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, Dar Al-Fikr, hal. 116.
[9] Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah. hlm 76.
[10] Ibn Muchtar, Aam Abdurrahman, Rizqoh Yamin. Majalah Al-Qudwah. ed. 6, Tadwinul Hadits (Bagian 3). TT. 2000.
[11] Ajaaj Al-Khatib. Ushul al-Hadits. Dar al-Fikr, 2009. hal. 114
[12] Ibid. hal. 142.
[13] Ibn Muchtar, Aam Abdurrahman, Rizqoh Yamin, Majalah Al-Qudwah, ed. 6, Tadwinul Hadits (Bagian 3), TT. 2000.
[14] Tabi’in yang wafat setelah tahun 140 H (Muhammad bin Mathar al-Zahrani. hal. 78)
[15] Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah. hal. 78
[16] Ibn Muchtar, Rizqoh Yamin, Abdurrahman, Abdurrahim. Majalah Al-Qudwah., ed. 7. Tadwinul Hadits (Bagian 4). TT. 2000.
[17] Ibid.
[18] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 80
[19] Prof. Dr. M. Musthafa Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 214
[20] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hal. 83 (dalam footnote buku Hadis Nabi dalam Teori dan Praktek, Abdul Choliq Muchtar, hal. 20)
[21] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 87
[22] Ibid. hal. 80
[23]Mushonnaf atau Tashnif (menurut istilah Ust. Amin Muchtar) yaitu menempatkan hadis-hadis yang saling berhubungan di bawah maudhu’ (topik) tertentu. Kemudian hadis-hadis tersebut dibagi dalam beberapa bab yang diberi judul seperti Shalat at-Tathawwu’. Kodifikasi dengan sistem ini melahirkan dua jenis kitab, yaitu Mushannaf dan Jami’. Lalu pada perkembangan selanjutnya sistem tashnif ini bila dilihat dari kualitas hadis, melahirkan kitab jenis As-Shahih, dan bila dilihat dari segi fiqhul hadits, melahirkan kitab jenis As-Sunan (Majalah Al-Qudwah, no. 07 & 08)
[24] Yaitu menghimpun hadis-hadis berdasarkan sahabat, baik dari segi nama secara abjad, fadhilah, maupun nasab. (Majalah Al-Qudwah, no. 07)
[25] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 89
[26] Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 131
[27] Drs. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Bumi Aksara, cet. 2, 2002, hal. 179
[28] Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA. Metode Belajar Interaktif Hadis dan Ilmu Hadis. Program CD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar